PENGETAHUAN TENTANG DIRI SENDIRI
DAN
PENGETAHUAN TENTANG ALLAH
PENULIS: SIMON SIBARANI
KAMPUS:STT-TIBERIAS
Pada waktu seorang bayi dilahirkan, kedatangannya kedunia biasanya disertai dengan sebuah pukulan di bagian belakang tubuhnya. Respon yang normal dari sibayi adalah tangisan sebagai protes terhadap apa yang telah dilakukan atas dirinya. Mengapa seorang bayi menangis? Apakah tangisan merupakan sebuah respon untuk menyatakan kesakitan? Atau kemarahan?
Bisa terjadi tangisan itu merupakan salah satu akibat dari penyebab yang telah di sebutkan di atas. Kedatangan kita kedunia ditandai dengan suara dan kemarahan. Tanda protes ini disimpulkan oleh sebagian orang sebagai suatu kesimpulan akhir bukan hanya dari arti kelahiran tetapi juga arti dari seluruh kehidupan manusia. Macbeth dengan berseloroh menyatakan:
Life’s but a walking shadow, a poor player
That strust and frets his hour upon the stage,
And then is heard no more; ‘tis a tale
Told by an idiot, full of sound and fury,
Signifying nothing.
Untuk menyatakan bahwa sesuatu tidak berarti apa-apa sama dengan menyatakan sesuatu itu sama sekali tidak penting. Tidak penting berarti tidak ada artinya sama sekali. Tidak ada artinya sama sekali sama dengan tidak bernilai apa-apa. Keberartian kita berkaitan dengan pertanyaan siapakah kita? dan apakah kita?. ini merupakan pertanyaan berkenaan dengan identitas. Identitas kita secara mutlak berhubungan dengan relasi kita dengan Allah. Kita tidak dapat mengerti siapa atau apa kita tanpa perngertian kita akan siapa dan apakah Allah itu. Ada saling kebergantungan antara pengetahuan kita tentang diri kita sendiri dengan pengetahuan kita tentang Allah. Pada saat kita menyadari diri kita sendiri sebagai kita, maka pada saat itu juga kita menyadari bahwa kita bukan Allah; kita adalah makhluk ciptaan. Kita memiliki tanggal kelahiran, waktu dimana kehidupan kita dimulai di dunia ini. Kuburan kita pada waktu kematian kita, sama halnya dengan kalahiran kita menunjukkan ketidakkekalan diri kita. kita tidak tahu bila kematian kita akan datang, tetapi setiap kita mengetahui tanggal dan tahun kelahiran kita.
Kesadaran kita sebagai makhluk ciptaan mendorong kita untuk berpikir tentang Pencipta kita. Kita tidak dapat merenungkan mengenai Allah atau hal yang lain di luar diri kita sampai kita sendiri harus menyadari akan diri kita terlabih dahulu. Demikian pula halnya, kita tidak dapat mengerti arti dari diri kita sepenuhnya sampai kita mengerti diri kita dalam kaitanya dengan Allah. Jadi, antropologi, yaitu usaha untuk mempelajari tentang manusia harus menjadi salah satu bagian di bawah teologi, yaitu usaha untuk mempelajari Allah.
Krisis manusia modern ditemukan pada perpecahan antara antropologi dengan teologi, antara usaha untuk mempelajari manusia dengan usaha untuk mempelajari Allah. Pada waktu kisah kita diceritakan terpisah atau diceraikan dari cerita tentang Allah, maka kisah kita benar-benar menjadi “ sebuah dongeng yang dikisahkan oleh seorang idiot, yang penuh dengan suara dan kemarahan, yang tidak berarti apa-apa”. Apabila keberadaan kita dipikirkan tanpa kaitannya dengan Allah, maka kita menjadi “a useless passion” (kegairahan atau nafsu yang tidak berguna) seperti yang dinyatakan oleh filsuf Jean Paul Sartre.
Apakah “kegairahan atau nafsu yang tidak berguna” itu? Nafsu atau kegairahan adalah suatu perasaan yang kuat. Kehidupan manusia ditandai dengan perasaan-perasaan yang kuat. Perasaan-perasaan itu adalah perasaan cinta, benci, bersalah, ambisi, nafsu, cemburu, iri, dan seorang tuan atau yang lain. Sebagai makhluk ciptaan kita memiliki perasaan yang dalam berkenaan dengan hidup kita. Pertanyaan yang menghantui kita adalah: Apakah semua perasaan itu tidak ada gunanya? Apakah segala perjuangan dan usaha kita hanya sekedar pekerjaan yang sia-sia, dan perjalanan yang sia-sia?
Arti kehidupan kita dan kewibawaan kita terancam. Apabila manusia dilihat sebagai seseorang yang sendiri dan terpisah dari hubungan dengan Allah, maka manusia akan tetap sendiri dan tidak penting. Apabila kita bukan makhluk ciptaan yang diciptakan dan ada hubungannya dengan Allah, maka kita hanyalah suatu kebetulan yang terjadi di dunia ini. Asal mula kita dan akhir hidup kita sama tidak berartinya. Apabila kita timbul dari suatu kebetulan dan kemudian berakhir pada suatu kesia –siaan yang tidak ada artinya. Kita bukan apa-apa, dan kita sama sekali tidak mempunyai wibawa dan nilai.
Untuk memberikan kewibawaan yang bersifat sementara kepada manusia di antara awal dan akhir hidupnya yang sia-sia merupakan suatu usaha yang bersifat membodohi diri sendiri dengan khayalan diri sendiri. Asal mula dan akhir hidup kita berkaitan dengan Allah. Arti hidup yang dapat kita miliki hanya arti hidup yang bersifat teologis. Pertanyaan yang kita tanyakaan, juga ditanyakan oleh pemazmur:
“Dari mulut bayi-bayi dan anak-anak yang menyusu telah Kau letakkan dasar kekuatan karena lawan-Mu, untuk membungkamkan musuh dan pendendam. Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kau tempatkan: apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya?” (Mazmur 8:3-5).
Diciptakan oleh Allah berarti kita mempunyai relasi dengan Allah. Hubungan yang tidak dapat kita hindari ini menjamin bahwa kehidupan kita bukan merupakan suara atau perasaan yang tidak berguna. Di dalam penciptaan kita menerima suatu mahkota kemuliaan. Mahkota kemuliaan itu adalah mahkota kewibawaan. Dengan Allah kita memiliki kewibawaan; tanpa Allah kita bukan apa-apa.
Kesimpulan:
Kita tidak dapat mengenal Allah tanpa kita terlebih dahulu menyadari akan diri kita sendiri.
Kita tidak dapat secara akurat mengetahui tentang diri kita sendiri tanpa terlebih dahulu kita mengenal Allah.
Pengetahuan Tentang Allah Pengetahuan yang lebih tinggi tentang diri sendiri Pengetahuan tentang diri sendiri(Kesadaran tentang diri sendiri) Pengetahuan tentang diri sendiri memimpin
Kita kepada pengetahuan tentang Allah,akibatnya pengetahuan ini memberikan kita suatu pengertian tentang diri kita sendiri yang lebih tinggi dan lebih penuh.
Manusia dalam hubungannya dengan Allah: tujuan awal + tujuan akhir = kehidupan yang berarti. (Manusia dalam hubungannya dengan Allah, menjadikan manusia itu memiliki tujuan asal mulanya dan tujuan akhir hidupnya, sehingga kehidupannya merupakan kehidupan yang berarti.)
Manusia tanpa hubungan dengan Allah: asal mula tanpa arti + tujuan tanpa arti = kehidupan tanpa arti. (Manusia tanpa hubungan dengan Allah sama dengan manusia yang asal mulanya tidak berarti dan akhir hidupnya tidak berarti, jadi, kehidupannya merupakan kehidupan yang tidak ada artinya.)
Bisa terjadi tangisan itu merupakan salah satu akibat dari penyebab yang telah di sebutkan di atas. Kedatangan kita kedunia ditandai dengan suara dan kemarahan. Tanda protes ini disimpulkan oleh sebagian orang sebagai suatu kesimpulan akhir bukan hanya dari arti kelahiran tetapi juga arti dari seluruh kehidupan manusia. Macbeth dengan berseloroh menyatakan:
Life’s but a walking shadow, a poor player
That strust and frets his hour upon the stage,
And then is heard no more; ‘tis a tale
Told by an idiot, full of sound and fury,
Signifying nothing.
Untuk menyatakan bahwa sesuatu tidak berarti apa-apa sama dengan menyatakan sesuatu itu sama sekali tidak penting. Tidak penting berarti tidak ada artinya sama sekali. Tidak ada artinya sama sekali sama dengan tidak bernilai apa-apa. Keberartian kita berkaitan dengan pertanyaan siapakah kita? dan apakah kita?. ini merupakan pertanyaan berkenaan dengan identitas. Identitas kita secara mutlak berhubungan dengan relasi kita dengan Allah. Kita tidak dapat mengerti siapa atau apa kita tanpa perngertian kita akan siapa dan apakah Allah itu. Ada saling kebergantungan antara pengetahuan kita tentang diri kita sendiri dengan pengetahuan kita tentang Allah. Pada saat kita menyadari diri kita sendiri sebagai kita, maka pada saat itu juga kita menyadari bahwa kita bukan Allah; kita adalah makhluk ciptaan. Kita memiliki tanggal kelahiran, waktu dimana kehidupan kita dimulai di dunia ini. Kuburan kita pada waktu kematian kita, sama halnya dengan kalahiran kita menunjukkan ketidakkekalan diri kita. kita tidak tahu bila kematian kita akan datang, tetapi setiap kita mengetahui tanggal dan tahun kelahiran kita.
Kesadaran kita sebagai makhluk ciptaan mendorong kita untuk berpikir tentang Pencipta kita. Kita tidak dapat merenungkan mengenai Allah atau hal yang lain di luar diri kita sampai kita sendiri harus menyadari akan diri kita terlabih dahulu. Demikian pula halnya, kita tidak dapat mengerti arti dari diri kita sepenuhnya sampai kita mengerti diri kita dalam kaitanya dengan Allah. Jadi, antropologi, yaitu usaha untuk mempelajari tentang manusia harus menjadi salah satu bagian di bawah teologi, yaitu usaha untuk mempelajari Allah.
Krisis manusia modern ditemukan pada perpecahan antara antropologi dengan teologi, antara usaha untuk mempelajari manusia dengan usaha untuk mempelajari Allah. Pada waktu kisah kita diceritakan terpisah atau diceraikan dari cerita tentang Allah, maka kisah kita benar-benar menjadi “ sebuah dongeng yang dikisahkan oleh seorang idiot, yang penuh dengan suara dan kemarahan, yang tidak berarti apa-apa”. Apabila keberadaan kita dipikirkan tanpa kaitannya dengan Allah, maka kita menjadi “a useless passion” (kegairahan atau nafsu yang tidak berguna) seperti yang dinyatakan oleh filsuf Jean Paul Sartre.
Apakah “kegairahan atau nafsu yang tidak berguna” itu? Nafsu atau kegairahan adalah suatu perasaan yang kuat. Kehidupan manusia ditandai dengan perasaan-perasaan yang kuat. Perasaan-perasaan itu adalah perasaan cinta, benci, bersalah, ambisi, nafsu, cemburu, iri, dan seorang tuan atau yang lain. Sebagai makhluk ciptaan kita memiliki perasaan yang dalam berkenaan dengan hidup kita. Pertanyaan yang menghantui kita adalah: Apakah semua perasaan itu tidak ada gunanya? Apakah segala perjuangan dan usaha kita hanya sekedar pekerjaan yang sia-sia, dan perjalanan yang sia-sia?
Arti kehidupan kita dan kewibawaan kita terancam. Apabila manusia dilihat sebagai seseorang yang sendiri dan terpisah dari hubungan dengan Allah, maka manusia akan tetap sendiri dan tidak penting. Apabila kita bukan makhluk ciptaan yang diciptakan dan ada hubungannya dengan Allah, maka kita hanyalah suatu kebetulan yang terjadi di dunia ini. Asal mula kita dan akhir hidup kita sama tidak berartinya. Apabila kita timbul dari suatu kebetulan dan kemudian berakhir pada suatu kesia –siaan yang tidak ada artinya. Kita bukan apa-apa, dan kita sama sekali tidak mempunyai wibawa dan nilai.
Untuk memberikan kewibawaan yang bersifat sementara kepada manusia di antara awal dan akhir hidupnya yang sia-sia merupakan suatu usaha yang bersifat membodohi diri sendiri dengan khayalan diri sendiri. Asal mula dan akhir hidup kita berkaitan dengan Allah. Arti hidup yang dapat kita miliki hanya arti hidup yang bersifat teologis. Pertanyaan yang kita tanyakaan, juga ditanyakan oleh pemazmur:
“Dari mulut bayi-bayi dan anak-anak yang menyusu telah Kau letakkan dasar kekuatan karena lawan-Mu, untuk membungkamkan musuh dan pendendam. Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kau tempatkan: apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya?” (Mazmur 8:3-5).
Diciptakan oleh Allah berarti kita mempunyai relasi dengan Allah. Hubungan yang tidak dapat kita hindari ini menjamin bahwa kehidupan kita bukan merupakan suara atau perasaan yang tidak berguna. Di dalam penciptaan kita menerima suatu mahkota kemuliaan. Mahkota kemuliaan itu adalah mahkota kewibawaan. Dengan Allah kita memiliki kewibawaan; tanpa Allah kita bukan apa-apa.
Kesimpulan:
Kita tidak dapat mengenal Allah tanpa kita terlebih dahulu menyadari akan diri kita sendiri.
Kita tidak dapat secara akurat mengetahui tentang diri kita sendiri tanpa terlebih dahulu kita mengenal Allah.
Pengetahuan Tentang Allah Pengetahuan yang lebih tinggi tentang diri sendiri Pengetahuan tentang diri sendiri(Kesadaran tentang diri sendiri) Pengetahuan tentang diri sendiri memimpin
Kita kepada pengetahuan tentang Allah,akibatnya pengetahuan ini memberikan kita suatu pengertian tentang diri kita sendiri yang lebih tinggi dan lebih penuh.
Manusia dalam hubungannya dengan Allah: tujuan awal + tujuan akhir = kehidupan yang berarti. (Manusia dalam hubungannya dengan Allah, menjadikan manusia itu memiliki tujuan asal mulanya dan tujuan akhir hidupnya, sehingga kehidupannya merupakan kehidupan yang berarti.)
Manusia tanpa hubungan dengan Allah: asal mula tanpa arti + tujuan tanpa arti = kehidupan tanpa arti. (Manusia tanpa hubungan dengan Allah sama dengan manusia yang asal mulanya tidak berarti dan akhir hidupnya tidak berarti, jadi, kehidupannya merupakan kehidupan yang tidak ada artinya.)
Daftar pustaka:
Kebenaran-kebenaran Dasar Iman Kristen seri Teologi Sistematika,
Oleh: R. C. Sproul
Alkitab
Ayat-ayat Alkitab untuk bahan refleksi:
Kejadian 1:27
Mazmur 51
Kisah Para Rasul 14: 8-18
Kisah Para Rasul 17: 22-31
Roma 1: 18-23
Kebenaran-kebenaran Dasar Iman Kristen seri Teologi Sistematika,
Oleh: R. C. Sproul
Alkitab
Ayat-ayat Alkitab untuk bahan refleksi:
Kejadian 1:27
Mazmur 51
Kisah Para Rasul 14: 8-18
Kisah Para Rasul 17: 22-31
Roma 1: 18-23
Tidak ada komentar:
Posting Komentar